Selasa, 12 Februari 2013

Patofisiologi Asma



DEFINISI DAN PATOFISIOLOGI ASMA

I.          DEFINISI
*      Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan napas pendek.
*      Asma bronkial adalah penyempitan bronkus yang bersifat reversibel yang terjadi oleh karena bronkus yang hiperaktif mengalami kontaminasi dengan antigen.
*      Asma dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu:
1.       ASMA EKSTRINSIK ATAU ALERGIK
Asma alergik disebabkan oleh kepekaan individu terhadap alergen (biasanya protein) dalam bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang, spora jamur, debu, serat kain atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat. Pajanan terhadap alergen, meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat mengakibatkan serangan asma.
2.       ASMA INTRINSIK ATAU IDIOPATIK
Ditandai dengan sering tidak ditemukannya faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor non spesifik (seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi). Lebih sering timbul sesudah usia 40 tahun dan serangan timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronkial. Makin lama serangan makin sering dan makin hebat, sehingga akhirnya keadaan ini berlanjut menjadi bronkitis kronik dan kadang-kadang emfisema.
3.       ASMA CAMPURAN
Terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik dan intrinsik. Sebagian besar pasien asma intrinsik akan berlanjut menjadi bentuk campuran; anak yang menderita asma ekstrinsik sering sembuh sempurna saat dewasa muda.

II.        PATOFISIOLOGI ASMA
Individu dengan  asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vegal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alargi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi  yang dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera akan timbul dispnea. Pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernafas. Kesulitan utama terletak pada saat ekspirasi. Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit, mengalami edema dan terisi mukus, yang dalam keadaan normal akan berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat ekspirasi.
Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan, sehingga terjadi hiperinflasi progresif paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan udara keluar. Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam, diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan.


 


Daftar Pustaka:

11. Price AS, Wilson ML., 2006. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. EGC. 784-5.
22. Rab, Tabrani H., 2010. Asma Bronkiale. Dalam: Ilmu penyakit Paru. Trans Info Media, jakarta. 377, 380,383